Kamis, 06 November 2014

·      Awal kerajaan Sunda
Pada abad ke-7 disebelah barat sungai citarum sudah ada kerajaan sunda, kerajaan Saunggalah di Kuningan dan kerajaan Galuh di Kabupaten Ciamis. Dalam carita parahyangan dikisahkan tentang sanjaya yang naik tahta setelah mengalahkan Rahyang Purbasora yang telah merebut tahta dari ayahnya. Kemudian, Sanjaya menjadi menantu raja sunda Maharaja Trarusbawa,  pendiri Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Setelah Maharaja Trarusbawa meninggal, tahta Kerajaan Pakuan jatuh ke tangan Sanjaya sehingga kedua kerajaan (Pakuan dan Galuh) dapat dipersatukan dan dikenal sebagai Kerajaan Sunda.
            Pada masa Raja Sanjaya bertahta di Galuh, mungkin terjadi konflik yang mengakibatkan Raja Sanjaya melepaskan jabatannya sebagai Raja Galuh dan pergi ke Mataram yang berkedudukan di Jawa Tengah dan ia menjadi raja disana. Setelah Sanjaya pergi, Galuh kembali memisahkan diri dari Pakuan dan berkembang sendiri.
            Sementara itu, ibu kota Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran (Bogor) tetap menjadi salah satu kota besar Kerajaan Sunda dengan raja sendiri. Buktinya, dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M), disebutkan tentang Sri Jaya Bhupati dari Kerajaan Prahajyan Sunda membuat “daerah larangan” di Sanghyang Tapak. Prasasti Sanghyang Tapak ini berbeda dari prasasti lainnya di tatar sunda. Aksara, bahasa, penanggalan yang dipergunakan berasal dari tradisi Jawa timur masa Airlangga. Nama Sri Jaya Bhupati, juga tidak disebut dalam naskah Sunda kuna. Ekadjati (1984) : 83 mengidentikkan Sri Jaya Bhupati dengan Sang Rakeyan Darmasiksa yang disebut dalam beberapa naskah Sunda kuna, termasuk dalam carita parahyangan. Sri Jaya Bhupati berasal dari pasangan Sang Lumahing Winduraja adalah keturunan raj raja Sunda dan ibunya berasal dari keturunan raja raja di Jawa Timur (lokapala). Sri Jaya Bhupati dibesarkan di Jawa Timur. Ketika di Jawa Timur terjadi peristiwa Pralaya yang menimpa keluarga raja Dharmawangsa pada tahun 1017, Sri Jaya Bhupati kembali kekampung halaman ayahandanya. Namun mula-mula ia menjadi raja Saunggalah  Kuningan dan setelah itu pindah ke Pakuan pajajaran menjadi raja Sunda (1030). Pada masa menjadi raja Sunda Sri Jaya Bhupati mengeluarkan prasasti yang menyatakan bahwa ia adalah raja sunda yang memuja Sang Hyang Tapak.
            Selanjutnya pusat Kerajaan Sunda beralih ke Galuh dengan rajanya Prabu Wastu yang bertahta di Kota Kawali. Dikisahkan bahwa ayahanda Prabu Wastu adalah Prabu Maharaja yang gugur di Bubat pada tahun 1357 ketika mengantarkan putrinya yang akan dinikahi Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit.
            Menurut naskah carita parahyangan ketika Prabu Maharaja meninggal Prabu Wastu masih kecil untuk menduduki tahta sehingga diangkatlah Hyang Bunisora sebagai wali raja. Baru pada tahun 1371 Prabu Wastu naik tahta, yang berlangsung 104 tahun (1371-1475).  Dalam menjalankan pemerintahannya Prabu Wastu tidak pernah meninggalkan pedoman kenegaraan yang pernah dijalankan para pendahulunya (Purbatisti Purbajati) dengan harapan para penerusnya tetap berpegang kepada pedoman yang diamanatkannya didalam Prasti Kawali II.

            Pengganti Prabu Wastu menurut Carita Parahyangan pada lempir verso 22 ialah tohaan di Galuh. Tohaan di Galuh disebut juga Rahiyang Ninggrat Kancana.Rahiyang Ningrat Kancana memerintah Galuh hanya selama tujuh tahun karena sebagaimana di beritakan dalam Carita Parahiyang,ia turun takhta karena berbuat salah mencintai wanita larangan dari luar.Selanjutnya,ia digantikan oleh putranya Sri Baduga Maharaja yang berkedudukan di Pakuan Pajajran.Jadi Sri Baduga bukan saja berkuasa di Kawali,tempat kedudukan ayah dan kakeknya,ia juga berkuasa di Pakuan Pajajaran. Dengan demikian kedua pusat kekuasaan bergabung di bawah kendalinya.Menurut prasati Batutulis,Sri Baduga Maharaja adalah raja Pakuan Pajajaran yang memariti ibokota Pakuan, sedangkan dalam prasasti kebantenan, Prabu Maharaja di sebut sebagai Susuhunan di Pakuan Pajajaran.Di sana ia membangun keraton yang disebut “Bima Punta Narayana Madura Suradipati”. Pusat kerajaan Sunda berada di Pakuan Pajajaran hingga runtuhnya pada 1579. Timbul pertanyaan mengapa pusat kerajaan harus pindah dari Galuh ke Pakuan Pajajaran? Menurut H Ten Dam dan Saleh Danasasmita, kepindahan itu diduga dari Kawali terlalu dekat dengan Cirebon yang menjadi pusat penyebaran agama Islam dan juga karena Pakuan Pajajaran lokasinya lebih dekat pelabuhan Sundakalapa dan Banten yang pada saat itu mulai berkembang sebagai pelabuhan internasional.Dalam buku Summa Oriental,yang berisi catatan perjalanan Tome Pires ke Banten, disebutkan bahwa pada tahun 1512-1513 itu Kerajaan Sunda memiliki kota-kota pelabuhan yaitu Bantam (Banten) Pomdam (Pontang), Cheguide (Cikande), Tamagaram (Tanggerang), Calapa (Kalapa), dan Chemano (Cimanuk). Hal ini menunjukan bahwa langkah Sri baduga memindahkan ibu kota dari Kawali ke Pakuan Pajajran tidak salah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar