·
Awal kerajaan Sunda
Pada
abad ke-7 disebelah barat sungai citarum sudah ada kerajaan sunda, kerajaan
Saunggalah di Kuningan dan kerajaan Galuh di Kabupaten Ciamis. Dalam carita
parahyangan dikisahkan tentang sanjaya yang naik tahta setelah mengalahkan Rahyang
Purbasora yang telah merebut tahta dari ayahnya. Kemudian, Sanjaya menjadi
menantu raja sunda Maharaja Trarusbawa,
pendiri Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Setelah Maharaja Trarusbawa
meninggal, tahta Kerajaan Pakuan jatuh ke tangan Sanjaya sehingga kedua
kerajaan (Pakuan dan Galuh) dapat dipersatukan dan dikenal sebagai Kerajaan
Sunda.
Pada masa Raja Sanjaya bertahta di
Galuh, mungkin terjadi konflik yang mengakibatkan Raja Sanjaya melepaskan
jabatannya sebagai Raja Galuh dan pergi ke Mataram yang berkedudukan di Jawa
Tengah dan ia menjadi raja disana. Setelah Sanjaya pergi, Galuh kembali
memisahkan diri dari Pakuan dan berkembang sendiri.
Sementara itu, ibu kota Kerajaan
Sunda di Pakuan Pajajaran (Bogor) tetap menjadi salah satu kota besar Kerajaan
Sunda dengan raja sendiri. Buktinya, dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M), disebutkan
tentang Sri Jaya Bhupati dari Kerajaan Prahajyan Sunda membuat “daerah
larangan” di Sanghyang Tapak. Prasasti Sanghyang Tapak ini berbeda dari
prasasti lainnya di tatar sunda. Aksara, bahasa, penanggalan yang dipergunakan
berasal dari tradisi Jawa timur masa Airlangga. Nama Sri Jaya Bhupati, juga
tidak disebut dalam naskah Sunda kuna. Ekadjati (1984) : 83 mengidentikkan Sri
Jaya Bhupati dengan Sang Rakeyan Darmasiksa yang disebut dalam beberapa naskah
Sunda kuna, termasuk dalam carita parahyangan. Sri Jaya Bhupati berasal dari
pasangan Sang Lumahing Winduraja adalah keturunan raj raja Sunda dan ibunya
berasal dari keturunan raja raja di Jawa Timur (lokapala). Sri Jaya Bhupati
dibesarkan di Jawa Timur. Ketika di Jawa Timur terjadi peristiwa Pralaya yang
menimpa keluarga raja Dharmawangsa pada tahun 1017, Sri Jaya Bhupati kembali
kekampung halaman ayahandanya. Namun mula-mula ia menjadi raja Saunggalah Kuningan dan setelah itu pindah ke Pakuan
pajajaran menjadi raja Sunda (1030). Pada masa menjadi raja Sunda Sri Jaya
Bhupati mengeluarkan prasasti yang menyatakan bahwa ia adalah raja sunda yang
memuja Sang Hyang Tapak.
Selanjutnya pusat Kerajaan Sunda
beralih ke Galuh dengan rajanya Prabu Wastu yang bertahta di Kota Kawali.
Dikisahkan bahwa ayahanda Prabu Wastu adalah Prabu Maharaja yang gugur di Bubat
pada tahun 1357 ketika mengantarkan putrinya yang akan dinikahi Prabu Hayam
Wuruk, Raja Majapahit.
Menurut naskah carita parahyangan
ketika Prabu Maharaja meninggal Prabu Wastu masih kecil untuk menduduki tahta
sehingga diangkatlah Hyang Bunisora sebagai wali raja. Baru pada tahun 1371
Prabu Wastu naik tahta, yang berlangsung 104 tahun (1371-1475). Dalam menjalankan pemerintahannya Prabu Wastu
tidak pernah meninggalkan pedoman kenegaraan yang pernah dijalankan para
pendahulunya (Purbatisti Purbajati) dengan harapan para penerusnya tetap
berpegang kepada pedoman yang diamanatkannya didalam Prasti Kawali II.
Pengganti Prabu Wastu menurut Carita
Parahyangan pada lempir verso 22 ialah tohaan di Galuh. Tohaan di Galuh disebut
juga Rahiyang Ninggrat Kancana.Rahiyang Ningrat Kancana memerintah Galuh hanya
selama tujuh tahun karena sebagaimana di beritakan dalam Carita Parahiyang,ia
turun takhta karena berbuat salah mencintai wanita larangan dari
luar.Selanjutnya,ia digantikan oleh putranya Sri Baduga Maharaja yang
berkedudukan di Pakuan Pajajran.Jadi Sri Baduga bukan saja berkuasa di
Kawali,tempat kedudukan ayah dan kakeknya,ia juga berkuasa di Pakuan Pajajaran.
Dengan demikian kedua pusat kekuasaan bergabung di bawah kendalinya.Menurut
prasati Batutulis,Sri Baduga Maharaja adalah raja Pakuan Pajajaran yang
memariti ibokota Pakuan, sedangkan dalam prasasti kebantenan, Prabu Maharaja di
sebut sebagai Susuhunan di Pakuan Pajajaran.Di sana ia membangun keraton yang
disebut “Bima Punta Narayana Madura Suradipati”. Pusat kerajaan Sunda berada di
Pakuan Pajajaran hingga runtuhnya pada 1579. Timbul pertanyaan mengapa pusat
kerajaan harus pindah dari Galuh ke Pakuan Pajajaran? Menurut H Ten Dam dan
Saleh Danasasmita, kepindahan itu diduga dari Kawali terlalu dekat dengan
Cirebon yang menjadi pusat penyebaran agama Islam dan juga karena Pakuan
Pajajaran lokasinya lebih dekat pelabuhan Sundakalapa dan Banten yang pada saat
itu mulai berkembang sebagai pelabuhan internasional.Dalam buku Summa Oriental,yang berisi catatan
perjalanan Tome Pires ke Banten, disebutkan bahwa pada tahun 1512-1513 itu
Kerajaan Sunda memiliki kota-kota pelabuhan yaitu Bantam (Banten) Pomdam
(Pontang), Cheguide (Cikande), Tamagaram (Tanggerang), Calapa (Kalapa), dan
Chemano (Cimanuk). Hal ini menunjukan bahwa langkah Sri baduga memindahkan ibu
kota dari Kawali ke Pakuan Pajajran tidak salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar