Rabu, 12 November 2014

Sedikit Tentang Hindu-Budha



Belajar Bagaimana Pengaruh Hindu-Budha Bagi Perkembangan Budaya Lokal Masyarakat di Nusantara
Apa yang terlintas di benak kalian apa bila membaca dan mendengar tentang Hindu-Budha? Pasti yang langsung terlintas di benak kalian adalah Agama dan kerajaan, tapi ternyata selain itu pengaruh Hindu-Budha juga mencakup aspek kebudayaan. Kalian pasti tahu kan candi Borobudur? Atau Wayang? Itu merupakan salah satu contoh dari percampuran budaya Hindu-Budha dan budaya lokal Nusantara. Tidak dapat kita pungkiri lagi bahwa budaya di nusantra di pengaruhi oleh budaya Hindu-Budha, dua kebudayaan yang di Negara asalnya India sangat berbeda semua aspeknya namun dapat berdampingan dan serasi.  Kedua budaya itu dapat saling mengisi dan mempengaruhi budaya yang ada di Nusantara. Sebelum masuknya agama Hindu, masyarakat di Nusantara telah memiliki kepercayaan dan budaya yang cukup maju. Dengan kedatangan pengaruh Hindu-Budha memberikan warna tersendiri bagi perkembangan budaya di Nusantara. Kebudayaan Hindu-Budha tidak diterima begitu saja, tetapi disesuaikan dengan keadaan masyarakat di Nusantara pada masa itu. Hal ini diakibatkan adanya lokal genius, jadi budaya Hindu-Budha yang hanya sesuaai di terapkan di Negara asalnya yaitu India di hilangkan karena tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Nusantara. Contoh-contoh  perpaduan dari Budaya Hindu-Budha antara lain dalam bidang Seni Banguan, Seni Rupa, Seni Sastra, Pemerintahan, dan Intelektual.
·          Seni Bangunan
Pengaruh Hindu-Budha bagi perkembangan seni bangunan di Nusantara berupa Candi, tetapi bisa kita lihat ada perbedaan antara fungsi candi bercorak Hindu dan candi bercorak Budha. Dimana candi bercorak Hindu biasanya di gunakan untuk pemakaman sedangkan candi bercorak Budha digunakan untuk pemujaan, namun terdapat fungsi lain dari candi yaitu tempat semedi, hiasan, tempat pemandian. Dilihat dari bentuknya dasar dari desain candi-candi di Nusatara adalah Punden berundak. Punden berundak adalah peningalan kebudayaan Megalitikum yang tetap digunakan dalam pembuatan candi. Seperti yang bisa kita lihat bahwa bentuk candi terdiri dari; kaki candi,  tubuh candi, dan atap candi. Dimana bentuknya bertingkat-tingkat. Contoh dari candi Hindu antara lain: candi Prambanan, candi Borobudur, candi Cangkuang, dan lain-lain.
 

      Seni Rupa
Seni rupa Hindu-Budha adalah hasil akulturisasi antara budaya Nusantara dengan Hindu-Budha yang bersifat sakral sebagai media upacara. Merupakan perlambangan dan simbolis dari ajaran agama. Berpusat pada kerajaan atau peodal, karena seni rupa pada masa itu di laksanakan atas titah raja untuk memenuhi suatu proses upacara agama. Contohnya adalah prasasti dan realif-realif di candi, dan  arca-arca. Hasil produk dari seni rupa Hindu-Budha kebanyakan adalah ukiran dan pahatan yang pola atau gambarnya berbeda dengan yang ada di India Negara asal kebudayaan Hindu-Budha. Namun alur cerita dan bentuk dasarnya tetap bernafaskan budaya Hindu-Budha yang asli. Contohnya, relief pada candi Borobudur, arca-arca Dewa-Dewi Hindu, arca Sidrata Gautama (Budha). 

·          Seni Sastra
Seni ini di anggap sangat penting karena sebagai penanda beralihnya kebudayaan Nusantra. Pergantian dari zaman praaksara kini menjadi zaman sejarah, digunakannya tulisan pada prasasti-prasasti yang ada diseluruh kerajaan di Nusantara pada masa itu. Tulisan yang digunakan adalah tulisan pallawa dan berbahasa sansekerta. Dan pada masa Kerajaan Majapahit lah beberapa karya sastra di kembangkan antara lain kitab Pararaton, kitab Negarakertagama, kitab Syair Sutasoma. Pada saat inilah peralihan media penulisan naskah yang semula di tuangkan diatas batu kini diatas lembaran daun lontar yang di sebut kropak.  Selain itu pewayangan , wiracarita kepahlawanan, kitab-kitab hukum, merupakan contoh lain dari hasil karya seni sastra.

·          Intekltual
Perkembangan intelektul pada masa Hindu-Budha di tandai dengan adanya perkembangan pola pikir masyarakat Nusantara. Dari yang masih sangat sederhana dimana pada masa itu adalah masa peralihan dari zaman pra sejarah ke zaman sejarah. Dengan kedatangan bangsa India yang membawa pengaruh baru bagi kebudayaan di Nusantara adalah suatu proses agar Nusantara nantinya dapat berkembang seperti saat ini. Perkembangan intelektual disini selain dari segi keagamaan, kepercayaan, budaya, bahasa, juga dari bidang teknologi. Bisa kita bayangkan bagaimana alat yang digunakan saat pembangunan candi-candi yang amat rumit dengan teknologi yang ada pada masa itu. Selain itu mulai terbetuknya jaringan intelektual atau pendidikan, hal baru bagi Nusantara yang memang belum pernah mengenal hal tersebut.
Nah dari bahasan diatas bisa kita lihat bahwa nenek moyang kita telah memiliki kearifan lokal sejak dahulu kala, dimana mereka menjalin sebuah hubungan negri dengan keadaan yang lebih maju dari mereka. Namun nenek moyang kita masih dapat mempertahankan jati dirinya, dan mengambil sisi positif dari pengaruh Hindu-Budha. Sehingga pada saat nanti, Nusantara dapat berkembang dan tidak tertinggal kebudayaannya. Jadi kita patutnya mencontoh nenek moyang kita, mereka mengambil hal-hal positif dari bangsa lain namun tetap tidak kehilangan landasan serta jati dirinya. Sehingga dapat kita lihat hasilnya sekarang bahwa pengaruh Hindu-Budha bagi perkembangan kebudayaan di Nusantara memiliki dampak yang sangat baik dan dapat kita nikmati hingga saat ini. Dapat kita pahami akhirnya bahwa pengaruh Hindu-Budha menjadikan budaya lokal Nusantra lebih kaya dan beragam.


·          Pemerintahan
Sistem pemerintahan di Nusantara yang sederhana yang semula di pimpin oleh kepala suku yang memiliki kemampuan diantara angota suku yang lainnya, setelah datangnya pengaruh Hindu-Budha hal itu berubah. Perubahan ini mengikuti system pemerintahan yang berkembang di India. Kepala suku yang asalnya dipilih oleh angota suku berdasarkan kemampuannya kini di rubah, kepala suku di angkat menjadi raja dan selanjutnnya tahta di berikan kepada keturunanya.  Di perkenalkan pula system pemerintahan yang lebih rumit, karena adanya birokrasi seperti adanya patih, penasehat kerjaan, menteri-menteri, dan lain-lain. Sehingga berkembanglah system pemerintahan di Nusantara dengan munculnya kerjaan-kerajaan.

Kamis, 06 November 2014

·      Awal kerajaan Sunda
Pada abad ke-7 disebelah barat sungai citarum sudah ada kerajaan sunda, kerajaan Saunggalah di Kuningan dan kerajaan Galuh di Kabupaten Ciamis. Dalam carita parahyangan dikisahkan tentang sanjaya yang naik tahta setelah mengalahkan Rahyang Purbasora yang telah merebut tahta dari ayahnya. Kemudian, Sanjaya menjadi menantu raja sunda Maharaja Trarusbawa,  pendiri Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Setelah Maharaja Trarusbawa meninggal, tahta Kerajaan Pakuan jatuh ke tangan Sanjaya sehingga kedua kerajaan (Pakuan dan Galuh) dapat dipersatukan dan dikenal sebagai Kerajaan Sunda.
            Pada masa Raja Sanjaya bertahta di Galuh, mungkin terjadi konflik yang mengakibatkan Raja Sanjaya melepaskan jabatannya sebagai Raja Galuh dan pergi ke Mataram yang berkedudukan di Jawa Tengah dan ia menjadi raja disana. Setelah Sanjaya pergi, Galuh kembali memisahkan diri dari Pakuan dan berkembang sendiri.
            Sementara itu, ibu kota Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran (Bogor) tetap menjadi salah satu kota besar Kerajaan Sunda dengan raja sendiri. Buktinya, dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M), disebutkan tentang Sri Jaya Bhupati dari Kerajaan Prahajyan Sunda membuat “daerah larangan” di Sanghyang Tapak. Prasasti Sanghyang Tapak ini berbeda dari prasasti lainnya di tatar sunda. Aksara, bahasa, penanggalan yang dipergunakan berasal dari tradisi Jawa timur masa Airlangga. Nama Sri Jaya Bhupati, juga tidak disebut dalam naskah Sunda kuna. Ekadjati (1984) : 83 mengidentikkan Sri Jaya Bhupati dengan Sang Rakeyan Darmasiksa yang disebut dalam beberapa naskah Sunda kuna, termasuk dalam carita parahyangan. Sri Jaya Bhupati berasal dari pasangan Sang Lumahing Winduraja adalah keturunan raj raja Sunda dan ibunya berasal dari keturunan raja raja di Jawa Timur (lokapala). Sri Jaya Bhupati dibesarkan di Jawa Timur. Ketika di Jawa Timur terjadi peristiwa Pralaya yang menimpa keluarga raja Dharmawangsa pada tahun 1017, Sri Jaya Bhupati kembali kekampung halaman ayahandanya. Namun mula-mula ia menjadi raja Saunggalah  Kuningan dan setelah itu pindah ke Pakuan pajajaran menjadi raja Sunda (1030). Pada masa menjadi raja Sunda Sri Jaya Bhupati mengeluarkan prasasti yang menyatakan bahwa ia adalah raja sunda yang memuja Sang Hyang Tapak.
            Selanjutnya pusat Kerajaan Sunda beralih ke Galuh dengan rajanya Prabu Wastu yang bertahta di Kota Kawali. Dikisahkan bahwa ayahanda Prabu Wastu adalah Prabu Maharaja yang gugur di Bubat pada tahun 1357 ketika mengantarkan putrinya yang akan dinikahi Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit.
            Menurut naskah carita parahyangan ketika Prabu Maharaja meninggal Prabu Wastu masih kecil untuk menduduki tahta sehingga diangkatlah Hyang Bunisora sebagai wali raja. Baru pada tahun 1371 Prabu Wastu naik tahta, yang berlangsung 104 tahun (1371-1475).  Dalam menjalankan pemerintahannya Prabu Wastu tidak pernah meninggalkan pedoman kenegaraan yang pernah dijalankan para pendahulunya (Purbatisti Purbajati) dengan harapan para penerusnya tetap berpegang kepada pedoman yang diamanatkannya didalam Prasti Kawali II.

            Pengganti Prabu Wastu menurut Carita Parahyangan pada lempir verso 22 ialah tohaan di Galuh. Tohaan di Galuh disebut juga Rahiyang Ninggrat Kancana.Rahiyang Ningrat Kancana memerintah Galuh hanya selama tujuh tahun karena sebagaimana di beritakan dalam Carita Parahiyang,ia turun takhta karena berbuat salah mencintai wanita larangan dari luar.Selanjutnya,ia digantikan oleh putranya Sri Baduga Maharaja yang berkedudukan di Pakuan Pajajran.Jadi Sri Baduga bukan saja berkuasa di Kawali,tempat kedudukan ayah dan kakeknya,ia juga berkuasa di Pakuan Pajajaran. Dengan demikian kedua pusat kekuasaan bergabung di bawah kendalinya.Menurut prasati Batutulis,Sri Baduga Maharaja adalah raja Pakuan Pajajaran yang memariti ibokota Pakuan, sedangkan dalam prasasti kebantenan, Prabu Maharaja di sebut sebagai Susuhunan di Pakuan Pajajaran.Di sana ia membangun keraton yang disebut “Bima Punta Narayana Madura Suradipati”. Pusat kerajaan Sunda berada di Pakuan Pajajaran hingga runtuhnya pada 1579. Timbul pertanyaan mengapa pusat kerajaan harus pindah dari Galuh ke Pakuan Pajajaran? Menurut H Ten Dam dan Saleh Danasasmita, kepindahan itu diduga dari Kawali terlalu dekat dengan Cirebon yang menjadi pusat penyebaran agama Islam dan juga karena Pakuan Pajajaran lokasinya lebih dekat pelabuhan Sundakalapa dan Banten yang pada saat itu mulai berkembang sebagai pelabuhan internasional.Dalam buku Summa Oriental,yang berisi catatan perjalanan Tome Pires ke Banten, disebutkan bahwa pada tahun 1512-1513 itu Kerajaan Sunda memiliki kota-kota pelabuhan yaitu Bantam (Banten) Pomdam (Pontang), Cheguide (Cikande), Tamagaram (Tanggerang), Calapa (Kalapa), dan Chemano (Cimanuk). Hal ini menunjukan bahwa langkah Sri baduga memindahkan ibu kota dari Kawali ke Pakuan Pajajran tidak salah. 

SEJARAH MASYARAKAT INDONESIA


A.    Persebaran Manusia Tua di Indonesia Austro Melanosoid
Keberagaman manusia Indonesia saat ini sangat menarik perhatian untuk diketahui lebih lanjut mengenai asal usulnya. Manusia Indonesia tentu saja sudah ada sejak satu juta tahun yang lalu. Dimana waktu itu Dataran Sunda masih merupakan sebuah daratan, dan waktu Asia Tenggara bagian benua dan bagian kepulauan masih bersambung menjadi satu.
Fosil manusia purba ditemukan di beberapa desa daerah lembah Bengawan Solo, salah satunya adalah Phitecantrhopus Erectus. Namun dapat diidentifikasi bahwa ciri-ciri fisik manusia tersebut berbeda dengan manusia sekarang. Lalu selanjutnya ditemukan pula sejumlah fosil yang bentuknya menunjukan sebuah evolusi dari manusia asli penduduk Dataran Sunda tersebut di Ngandong yang oleh para ahli antropologi disebut Homo Soloensis.
Homo Soloensis itu dalam beberapa puluhan ribu tahun kemudian berevolusi menjadi manusia seperti sekarang denga cirri-ciri ras yang menyerupai penduduk asli Australia. Sisa fosil dari makhluk ini ditemukan pula di Wajak yang kemudian atripolog menyebutnya dengan Homo Wajakensis. Fosil itu menunjukan banyak persamaan dengan fosil-fosil dari nenek moyang penduduk asli Australia, yang ditemukan di Talgai, di daerah Darling Downs, Queensland, Australia Timur dan di Keilor sebelah barat laut kota Melbourne, Australia Selatan (Koentjaraningrat, 1979, p. 4) .
Nenek moyang dari manusia wajak tersebuat adalah Austro Melanosoid yang penyebarannya sudah berlangsung lebih dulu sebelum jaman glasial atau jaman es berakhir dimana pada waktu itu Irian belum terpisahkan dari bagian barat Indonesia dan dari benua Australia.  Mereka menyebar ke arah timur menduduki Irian dan ada yang menyebar ke  arah barat.
Austro-Melanesoid merupakan salah satu ras yang melakukan migrasi ke Indonesia.  Bangsa ini memiliki ciri-ciri yaitu berbadan kekar, kulit kehitam- hitaman, berambut kriting, bibir tebal, dan hidung mancung. Menurut Teuku Jacob penduduk asli Irian itu, telah menyebar ke timur untuk menduduki Melanesia (Koentjaraningrat, 1979, p. 5). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa orang  Austro-Melanesoid ini telah menyebar ke timur menyebrang dari Irian. Penyebaran orang Austro-Melanesoid ke arah timur ini terjadi setelah mereka dapat mengembangkan suatu kebudayaan pantai dengan sebuah perahu lesung bercadik yang pada awalnya hanya untuk mencari ikan, menyusuri pantai namun kemudian mereka menyebrang ke pulau dihadapan pantai pada saat cuaca cerah.
Penyebaran ke arah Barat pun dapat teridentifikasi setelah ditemukannya abris sous roches yaitu semacam tempat perlindungan di bawah karang dan sisa-sisa alat-alat batu serpih bilah kecil di Flores Barat dan Timor Barat. Fosil yang ditemukan di gua –gua Flores Barat tersebut menunjukan adanya cirri-ciri ras Austro-Melanesoid.
Orang Austro-Melanesoid di bagian Barat  dan Timur Indonesia memang mengembangkan kebudayaan yang hampir sama. Namun masih terdapat perbedaan yang cukup jelas berdasarkan bukti sejarah yang ditemukan. Perbedaan tersebut saah satunya ialah bahwa orang Austro-Melanesoid yang menyebar ke wilayah barat kepulauan Indonesia teridentifikasi telah memakan kerang yang dibuktikan dengan ditemukannya tumpukan sampah kerang yang sekarang lazim disebut kjokkenmoddinger (sampah dapur). Bukit-bukit sampah tersebut dapat ditemukan sekarang di Sumatra Timur dan Utara dekat Medan, dekat Langsa di Aceh dan Perak, Kedah dan Pahang di Malaysia.
Di Jawa Timur juga ditemukan kapak-kapak genggam seperti di Gua Sodong di Besuki, Gua Pretruruh di Tulunggagung, dan Gua Sampung di Ponorogo. Selain itu ditemukan pula di Vietnam Utara dalam bukit-bukit kerang di pegunungan Bacson, di sebelah utara kota Hanoi sekarang, dan di gua-gua propinsi Hoa-binh di Vietnam Tengah.
Dari berbagai penemuan bukti sejarah di berbagai tempat tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya persebaran orang Austro-Melanesoid dari timur ke barat berasal dari Jawa, melalui Sumatra, Semenanjung Melayu dan Muang Thai Selatan sampai di Vietnam Utara.
Para ahli paleo-antropologi  menyebut orang Austro-Melanesoid sebagai penduduk asli orang Irian yaitu Papua Melanosoid dengan alasan bahwa mereka telah menurunkan penduduk Irian sekarang dan penduduk kepulauan Melanesia. Lalu pada perkembangannya, orang Papua Melanosoid di Irian ini mengembangkan suatu kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan di bagian barat kepulauan Indonesia yaitu budaya kapak lonjong. Kemudian kebudayaan kapak lonjong ini dapat diidentifikasi asal penyebarannya yaitu dari daratan Asia ke Jepang, Formosa, Filipina lalu ke Indoesia Timur yaitu ke Maluku Utara dan ke Irian.
Daerah penyebaran budaya kapak lonjong tersebut dapat diketahui dengan ditemukannya kapak sejenis di berbagai tempat selai di Irian seperti di Seram, Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa dan Serawak (Kalimantan Utara). Selain di kepulauan Indoonesia, kapak tersebut juga ditemukan di Tiongkok dan Jepang, di daerah Assam dan Birma Utara. Penemuan-penemuan di Formosa dan Filipina memperkuat pendapat ini (Soekmono, 1973, p. 54).
Diperkirakan bahwa proses persebaran orang Austro-Melanesoid terjadi diantara 10.000 sampai 2.000 SM. Persebaran tersebut misalnya dari Irian ke kepulauan di sebelah barat daya dan kembali, persebaran bangsa-bangsa dari Irian ke pulau-pulau di sebelah baratnya, persebaran orang Austro-Melanesoid dari Jawa ke barat dan utara sampai di Vietnam Utara dan sebaliknya, persebaran dari Jepang melalui Riukyu, Taiwan dan Filipina ke Sulawesi dan kemudian percampuran ras dan kebudayaan di Sulawesi Selatan.
            Ketika bangsa Melanesoid datang, mereka mulai menetap, walaupun seminomaden. Jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan mereka akan pindah. Oleh karena itu, mereka memilih daerah yang banyak menghasilkan. Kebudayaan bangsa Melanesoid ini adalah kebudayaan Mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang. Sekitar tahun 2000 SM, bangsa melanesoid yang akhirnya menetap di nusantara kedatangan pula bangsa dan kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun melayu austronosia yakni bangsa melayu tua atau proto melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari daerah yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan.. (Ubaidilah, 2013). Sehingga peran dari bangsa yang lebih dulu datang ke Indonesia ini mulai tergantikan perannya.
Seperti kita ketahui, di dunia ini terdapat beberapa ras yang membedakan suatu bangsa dari ciri fisiknya. 4 ras besar dunia tersebut adalah Ras Mongoloid, Ras Kaukasoid, Ras Negroid dan Ras Australoid. Jika kita hubungkan pembahasan mengenai persebaran manusia tua di Indonesia ini yaitu Austro Melanosoid maka dapat kita tarik akarnya bahwa manusia ini memiliki ciri-ciri dari ras Australoid. Dimana ras tersebut pusatnya di Australia lalu menyebar ke Indonesia bagian Timur khususnya wilayah Papua yang pada saat itu masih bersatu dengan Australia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dari Papua, kemudian orang Austro Melanosoid menyebar ke arah timur ke kepulauan Melanesia dan ke arah barat kepulauan Indonesia. Demikianlah awal mula penyebaran bangsa Austro Melanosoid di Indonesia yang sekarang menjelma menjadi penduduk Irian saat ini.